Periklanan
Definisi Periklanan menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan
menggunakan medium tertentu), yang meliputi proses kreasi, produksi dan
distribusi dari iklan yang dihasilkan, misalnya: perencanaan komunikasi iklan,
iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi
publik, tampilan iklan
di media cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik (televisi dan
radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran,
pamflet,edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery advertising
materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan.
2. Segala bentuk pesan tentang suatu produk disampaikan melalui suatu media,
dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau
seluruh masyarakat.
3. Deskripsi atau presentasi dari produk, ide
ataupun organisasi untuk membujuk individu untuk membeli,
mendukung atau sepakat atas suatu hal.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka subsektor industri periklanan dapat
didefinisikan tentang suatu produk, jasa, ide, sebagai industri jasa yang
mengemas bentuk komunikasi bentuk promosi, informasi: layanan masyarakat,
individu maupun organisasi yang diminta oleh pemasang iklan
(individu,organisasiswasta /pemerintah) melalui media tertentu (misal:
televisi, radio, cetak, digital signage, internet) yang bertujuan untuk
mempengaruhi, atau sepakat atas hal membujuk target individu/masyarakat untuk
membeli, mendukung yang ingin dikomunikasikan.
SEJARAH
PERIKLANAN INDONESIA
Harus diakui, bahwa tokoh periklanan
pertama di Indonesia adalah Jan Pieterzoon Coen, orang Belanda yang
menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1619-1629. Toko ini bukan
hanya bertindak sebagai pemrakarsa iklan pertama di Indonesia, tetapi juga
sebagai pengiklan dan perusahaan periklanan. Bahkan dia pun menjadi penerbit
dari Bataviasche Nouvelle, suratkabar pertama di Indonesia yang terbit tahun
1744, satu abad setelah J.P. Coen meninggal.
Iklan pertama yang diprakarsainya
berupa pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan dengan
perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah. Namun dengan penerbitan
suratkabar pertama yang memuat iklan itu, Jan Pieterzoon Coen membuktikan,
bahwa pada hakekatnya untuk produk-produk baru, antara berita dan iklan tidak
ada bedanya. Atau, bahwa berita pun dapat disampaikan dengan metode dan teknik
periklanan. Kenyataan itu membuktikan pula, bahwa iklan dan penerbitan pers di
Indonesia, sebenarnya lahir tepat bersamaan waktunya, dan keduanya saling
membutuhkan atau memiliki saling ketergantungan.
DOMINASI EROPA
Lepas dari kenyataan itu, karena
orang-orang Eropa yang pertama memiliki suratkabar di masa Hindia Belanda, maka
dengan sendirinya bahasan mengenai tokoh-tokoh periklanan di Indonesia pun akan
bertolak dari para warga negara asing ini. Lebih lagi, karena di masa Hindia
Belanda, memang belum ada pemisahan yang jelas antara fungsi-fungsi penerbit,
percetakan dan perusahaan periklanan. Antara tahun 1868-1912, di Batavia saja,
orang-orang Eropa ini telah memiliki 14 penerbitan pers.
Karena di masa itu setiap percetakan
hanya mencetak satu penerbitan pers, maka berarti terdapat jumlah yang sama
percetakan pers yang dimiliki oleh orang-orang Eropa atau keturunan Eropa.
Penerbitan-penerbitan ini bervariasi dari yang berkala harian, mingguan,
dwimingguan maupun bulanan.
Di luar Batavia, tercata 6
suratkabar yang terbit di Surabaya dan satu di Jawa Tengah. Ini pun semuanya
dimiliki dan dikelola oleh orang-orang Eropa. Pada perusahaan-perusahaan
periklanan milik orang-orang Eropa itu, memang banyak juga dipekerjakan
orang-orang Cina atau pribumi.
Tetapi dua kelompok terakhir ini
hanya sebagai copywriter (penulis naskah) untuk perusahaan periklanannya, atau
tenaga keredaksian di penerbitan pers mereka. Setelah orang-orang Eropa,
orang-orang Cina atau keturunan Cina menjadi kelompok yang paling dominan
menguasai periklanan. Sedangkan kelompok pribumi umumnya tidak memiliki sendiri
percetakan atau penerbitan pers, ataupun hanya mengelola perusahaan-perusahaan
periklanan yang relatif kecil.
TIGA SERANGKAI
Praktisi periklanan sebagai tenaga
spesialis yang khusus didatangkan dari Belanda yang terkenal di zamannya adalah
“tiga-serangkai”; F. Van Bemmel, Is. Van Mens dan Cor van Deutekom.
Mereka ini didatangkan atas biaya BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) dan
General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Ketiga orang ini
bergabung dalam Aneta, perusahaan periklanan terbesar saat itu. Pada tahun 1901
salah satu dari anggota tiga-serangkai ini, Bemmel, diminta oleh redaktur
suratkabar De Locomotief untuk mengelola perusahaan periklanan milik suratkabar
tersebut, yang juga bernama De Locomotief. Suratkabar De Locomotief sendiri
terbit sejak tahin 1870 di Semarang. Tahun 1902, hanya satu tahun sejak
kedatangannya ke Batavia, Bemmel hengkang untuk mendirikan perusahaan
periklanan sendiri. Perusahaan periklanan ini diberinya nama NV Overzeesche
Handelsvereeniging. Perusahaan periklanan ini utamanya menangani produk-produk
impor, seperti mobil dan sepeda.
Pada tahun 1910 Bemmel kembali ke
negeri Belanda. Tidak diketahui alasan kepindahannya itu, namun di negeri
Belanda ia kemudian berganti profesi. Uang yang dihimpunnya selama memiliki
perusahaan periklanan di Hindia Belanda rupanya cukup untuk mendirikan sebuah
bank. (65)
(65) Short History of
Journalism in the Dutch East Indies, G. Koff & Co., Sourabaya-Java,
hlm. 118-119
DARI AHLI PEMASARAN
Tokoh bangsa Belanda lain yang juga
banyak disebut dalam sejarah periklanan adalah CA Kruseman, seorang ahli
Pemasaran lulusan sekolah dagang Osnabruck, Rotterdam. Orang iklan ini penglola
perusahaan periklanan HM van Dorp yang sekaligus juga pemilik percetakan
suratkabar Java-Bode. Sebagaimana Bemmel, Kruseman juga didatangkan langsung
dari negeri Belanda.
Sebagai seorang ahli pemasaran,
tentu saja tidak sulit bagi Kruseman untuk memajukan perusahaan periklanan van
Dorp. Produk-produk yang ditanganinya antara lain adalah jasa transportasi,
perhotelan, arloji serta olahraga pacuan kuda. Selama memimpin van Dorp, ia
berhasil menjual iklan senilai f. 100.000. jumlah tersebut sudah dianggap
sangat besar, untuk masa itu.
Selesai bertugas di Hindia Belanda,
Kruseman sempat kembali ke Rotterdam tahun 1906. Tetapi kemudian dia diangkat
kembali untuk memimpin van Dorp di Hindia Belanda, hingga saat meninggalnya
tahun 1909 di Batavia.
AWAL TOKOH CINA KETURUNAN
Menjelang akhir abad ke-19
perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki dan dikelola oleh Cina keturunan
mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda dunia tahun 1890 rupanya
berdampak sangat buruk bagi dunia usaha. Termasuk banyak percetakan pers milik
orang-orang Belanda. Peluang inilah yang ternyata mampu dimanfaatkan oleh
kelompok Cina keturunan.
Pelopor periklanan dari kelompok ini
adalah Yap Goan Ho, yang memiliki perusahaan periklanan sendiri di
Batavia. Yap Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di perusahaan
periklanan De Locomotief. Perusahaan periklanannya diberi nama Yap Goan Ho,
mulanya dikontrak olah suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang (terbit
1888-1891). Perusahaan periklanan ini hanya bertahan tiga tahun, akibat
bangkrutnya suratkabar Sinar Terang.
Iklan-iklan yang ditangani Yap Goan
ho kebanyakan untuk produk buku. Khususnya yang diterbitkan untuk masyarakat
Cina. Setelah ditutupnya Sinar Terang, Yap Goan Ho kembali berusaha
mengembangkan sendiri perusahaan periklanannya. Untuk itu dia mengumpulkan
modal dari bekerja mencari iklan bagi beberapa suratkabar. Dia mengkhususkan
diri pada iklan-iklan pelelangan barang milik para pejabat Belanda. Kebanyakan
barang-barang milik para pejabat yang akan mengakhiri masa jabatannya di Hindia
Belanda. Iklan-iklan pelelangan ini utamanya ditujukan pada khalayak pribumi,
dan sebagian besar dimuat di suratkabar De Locomotief.
DARI LUAR JAWA
Tokoh Cina keturunan lain adalah
Liem Bie Goan. Seperti juga Yap Goan Ho, perusahaan periklanan Liem Bie Goan
juga dikontrak oleh suratkabar. Suratkabar yang mengontraknya adalah Pertja
Barat yang terbit di Padang tahun 1890-1912. Iklan yang menonjol dari
perusahaan periklanan ini adalah produk pecah belah. Khalayak sasarannya adalah
penduduk Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.
Dari luar Jawa tercata juga nama Kadhool
sebagai tokoh lain periklanan. Seperti Yap Goan Ho, dia juga mantan penulis
naskah di perusahaan periklanan De Locomotief. Kadhool sekolah di Hwee Koan,
Cina. Perusahan periklanannya bernama Firma Tie Ping Goan, namun dikelola dan
dimiliki sendiri oleh Kadhool. Tidak ada catatan mengapa nama perusahaan
periklanan ini tidak menggunakan namanya. Di duga, Tie Ping Goan adalah nama
lain dari Kadhool. Iklan-iklan Tie Ping Goan umumnya dipesan oleh suratkabar
Tjaja Sumatra yang terbit dari tahun 1899-1933 di Sumatera Timur (sekarang
Riau).
Produk-produk yang ditangani
perusahaan periklanan Kadhool kebanyakan hotel-hotel di sekitar Bandung. Bagi
masyarakat Belanda masa itu, daerah Bandung dikenal sebagai Parisj van Java
(Paris-nya Pulau Jawa), sehingga menjadi tempat peristirahatan sangat bergengsi
bagi para pengusaha perkebunan Eropa yang tinggal di Sumatera.
Tie Ping Goan bertahan hingga
terjadinya depresi ekonomi tahun 1930. Rintisan yang banyak dilakukan oleh
kelompok Cina keturunan ini, menurut F. Wiggeres yang menulis dalam Pemberita
Betawi, 1909, karena merekalah yang sangat mementingkan perdagangan. Untuk
dapat lebih berhasil, kata Wiggeres pula, perdagangan tidak bisa lepas dari
kebutuhan periklanan.
PRAKTISI PRIBUMI
Orang pribumi yang memiliki
percetakan dan suratkabar, baru pada tahun 1906 dengan munculnya NV Medan
Prijaji. Tiras suratkabar yang dipimpin oleh RM Tirto Adisoerjo ini
utamanya beredar di Batavia, Bogor dan Bandung. Suratkabar ini sebenarnya punya
misi politik, karena banyak memuat berita-berita tentang kebobrokan sistem
kolonial. Dia sekaligus memberi juga perlindungan hukum bagi kaum pribumi.
Namun untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia memerlukan juga perusahaan
periklanan. Orang yang mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji adalah
Raden Goenawan.
Raden Goenawan, lulusan HIS (Holland
Inlandsche School), Batavia, menjadi teman dekat Tirto Adisoerjo sejak di
sekolah itu. Selain dalam jabatan tersebut, Adisoerjo dan Raden Goenawan juga
merangkap bersama-sama menangani bidang percetakan Medan Prijaji. Suratkabar
ini mereka beri nama kecil Surat Kabar Minggoean dan Advertentie.
Raden Goenawan juga pernah bekerja di perusahaan periklanan NV Soesman’s yang
berkedudukan di Batavia. NV Soesman’s banyak mengiklankan penyediaan tenaga
kerja pendatang dari Jawa ke Sumatera Timur.
Raden Goenawan mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji sejak
berdirinya tahun 1906. Meskipun hanya mampu bertahan hingga tahun 1912, Medan
Prijaji tercatat memperoleh keuntungan sebesar f.75.000 pada tahun terakhir
hidupnya.
MERAMBAH DUNIA TOKOH-TOKOH PRIBUMI
Tokoh periklanan pribumi yang sangat
patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo. Dia memimpin NV Handel
Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”, Semarang, yang menerbitkan
suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan suratkabar pribumi yang dapat
bertahan agak lama (1914-1924).
Karir Tjokroamidjojo dimulai dengan
bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De locomotief pada tahun 1906.
Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita Betawi. Pada
tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari hasil perusahaan
batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di Semarang.
Perusahaan periklanan Sinar Djawa
tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di Hindia Belanda yang
mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika. Perwakilan
ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la Victoire,
Paris. Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat timbal-balik. Yang
utama adalah untuk menangani komoditas impor dari Eropa dan Amerika. Namun juga
untuk mengiklankan tour keliling Jawa dengan kereta api, ataupun hotel-hotel
Eropa di Hindia Belanda.
Laba usaha Sinar Djawa mengalami
pasang surut. Merosot pada tahun 1915-1916, akibat terkena dampak Perang Dunia
I, sehingga hanya mencapai f. 25.000 pada periode ini. Padahal pada tahun
sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang kepemimpinan Tjokroamidjojo
hingga tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total keuntungan senilai f.
200.000,-.
SPESIALIS IKLAN BUKU JAWA
M.Sastrositojo adalah pemilik dan pengelola perusahaan periklanan NV Medan
Moeslimin. Perusahaan periklanan ini mengkhususkan diri pada iklan-iklan produk
buku, terutama buku-buku yang dicetak oleh Albert Rusche & Co.. Buku-buku
yang diiklankannya pun khusus beraksara Jawa. Kebijaksanaan mengkhususkan pada
iklan-iklan buku ini dilakukan, untuk menyesuaikan diri dengan suratkabar Medan
Moeslimin yang memang dikhususkan untuk pembaca orang Jawa yang baru melek
huruf. Itu pun terbatas pada bacaan yang menggunakan aksara Jawa.
Misi yang diemban Medan Moeslimin
tampaknya tidak dapat sepenuhnya ditunjang dari penghasilan usaha periklanan.
Karena tercatat adanya dukungan keuangan dari beberapa perusahaan batik di
Solo. Salah satu pendukung utama keuangannya adalah perusahaan batik milik
Hadji Misbach. M. Sastrositojo adalah lulusan HIS, yang kemudian magang selama
2 tahun di perusahaan periklanan NV Doenia Bergerak, sebagai penulis naskah
iklan.
PENGELOLA IKLAN ASOSIASI
Pemilik dan pengelola lain
perusahaan periklanan dari kelompok pribumi adalah Abdoel Moeis. Ia
memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan
perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat
(asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda.
Hasil usaha Neratja digunakan juga
untuk mendirikan perusahaan periklanan dan perusahaan penerbitan di Sumatera
Timur. Tetapi dampak depresi ekonomi tahun 1930 kemudian juga ikut membunuh
kedua perusahaan ini.
Abdoel Moeis memulai karir di dunia
cetak-mencetak sejak tahun 1915 pada suratkabar Oetoesan Hindia, sebagai tenaga
pembantu redaksi. Ia adalah lulusan HBS (Hollandsche Burger School) dan menjadi
pimpinan Neratja sejak tahun 1917.
PAKAR IKLAN PASCA DEPRESI
Pulihnya kembali usaha periklanan
didorong oleh prakarsa perusahaan-perusahaan Belanda. Mereka memberi beberapa
kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan percetakan untuk mempromosikan
produk-produk impor dari Eropa maupun yang diproduksi di Hindia Belanda
sendiri. Yang pertama mampu memanfaatkan peluang ini adalah Liem Kha Tong.
Dia sekaligus menjadi pelopor bangkitnya kembali periklanan pasca depresi di
Hindia Belanda. Liem Kha Tong mendirikan perusahaan periklanan Handels &
Credietbescher-Ming Bureau yang berkantor di Batavia. Untuk menggugah
bangkitnya kembali minat masyarakat untuk beriklan, perusahaannya sendiri
kemudian memasang iklan. Naskah iklannya sangat terkenal, berbunyi:
Toekang iklan bikin reclame
Toekang sajoer bikin reclame
Post kantoor perloe reclame
Kantoor telefon perloe reclame
Bank-bank perloe djoega reclame
Apa toean sadja tidak perloe?
Sebagai seorang pakar pemasaran saat
itu, Liem Kha Tong juga memanfaatkan penerbitan-penerbitan untuk memuat tulisan-tulisannya
mengenai periklanan. Berikut ini adalah bagian dari salah satu tulisannya. Di
bawah judul “Advertentie (periklanan) dan Perdagangan”. Dia antara lain
menyatakan:
Advertentie poenja kaperloean soedah
kentara,
kerna advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan kita pada
publiek. Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaimana bisa
dapatken pembeli?
Liem Kha Tong juga mengajarkan,
bahwa pemilihan media yang digunakan harus sejalan dengan pesan iklan yang akan
dimuat. Dia menjelaskan teori Ekonomi; Permintaan dan Penawaran, dan juga
masalah-masalah distribusi suatu produk. Dia tampaknya merupakan tokoh yang
juga banyak membaca. Tulisan-tulisannya selalu mengacu kepada tokoh-tokoh
Pemasaran zaman itu. Termasuk dari Mr. AR. Zoccol, Direktur Parker Pen Company
yang perusahaannya tetap mampu bertahan dalam amukan depresi tahun 1930.
Tahun 1933, perusahaan periklanan Ming yang dipimpin Liem Kha Tong berhasil
meraih laba senilai f. 50.000.
YANG SUKSES DI BANDUNG
Joedoprajitno tercatat sebagai tokoh periklanan yang menonjol di Bandung.
Karier pemilik dan pengelola perusahaan periklanan Jupiter ini dimulai
ketika ia berusia 15 tahun di Mathew Rose, sebuah perusahaan batik dai
Pekalongan. Perusahaan batik ini ditutup pada tahun 1930 karena bangkrut. Pada
tahun yang sama Joedoprajitno mengambil ahli perusahaan tersebut beserta
seluruh persediaan barangnya senilai f.40.000. Dua tahun kemudian baru ia
mendirikan Jupiter. Kiat sukses bisnisnya yang terkenal dimuat di harian Sipatahoenan
edisi 3 Juni 1936, yaitu:
Sikap sombong diboewang djaoe-djaoe;
Haroes poenjaken Kesabaran dalem segala hal;
dan Dengan apa kaoe aken bisa naek di tangga doenia.
Laba usaha yang berhasil diraihnya
pada tahun 1935 tercatat f. 100.000.
MEMBERI KIAT DI MASA RESESI
Tokoh periklanan yang juga menonjol
adalah S. Soemodihardjo yang memimpin perusahaan periklanan Economie
Blad. Karirnya dimulai tahun 1921, sebagai pimpinan bidang Pemasaran pada
perusahaan batik ayahnya di Solo. Delapan tahun kemudian pindah ke Batavia
menjadi penulis naskah iklan pada suratkabar Keng Po.
Konsep dan pengalamannya tentang
periklanan dan pemasaran kerap dimasyarakatkannya. Ia menjadi tokoh pelawan
arus, banyak menentang kecenderungan yang terjadi di antara para praktisi
pemasaran dan periklanan. Dalam hal periklanan, ia sering berbicara tentang
“periklanan” sebagai suatu ilmu pengetahuan yang “baru” untuk mencapai
ekonomisasi yang tinggi. Dalam hal pemasaran, dia mengingatkan para pemasar
(marketer), bahwa menurunkan harga tidak selalu merupakan tindakan yang benar
dalam pemasaran. Alasannya, karena menurunkan harga dapat menimbulkan persepsi
di antara calon konsumen akan turunnya pula mutu produk, dan sangat
membahayakan tujuan pemasaran dalam jangka panjang.
Pada saat itu memang terjadi
kecenderungan dari banyak produk untuk menurunkan harga, dan berhenti atau
mengurangi anggaran periklanan, karena melesunya pasar sebagai dampak dari awal
depresi yang terjadi.
PENCIPTA SLOGAN PERJUANGAN
Tokoh periklanan di tahun 1930-an
adalah Hendromartono pemilik dan pengelola perusahaan periklanan Mardi
Hoetomo di Semarang. Di daerahnya, ia terkenal sebagai praktisi yang merintis
terciptanya iklan-iklan yang memberi nilai tambah pada produknya.
Hendromartono banyak belajar dari
periklanan di luar negeri dan termasuk pakar periklanan yang aktif menulis di
media cetak. Dia memulai karirnya tahun 1928, dan dua tahun kemudian menjadi
staf ahli di perusahaan periklanan De Locomotief. Dia mendirikan perusahaan
periklanan Mardi Hoetomo tahun 1933.
Hendromartono tampaknya menjadi
praktisi periklanan yang juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Dia yang
menciptakan slogan “Boeng, Ayo Boeng’ pada tahun 1942. Mungkin karena hal
tersebut dia harus menutup perusahaan periklanannya pada tahun 1942, ketika terjadi
penyerbuan tentara Jepang. Slogan tersebut kemudian (tahun 1950) digunakan oleh
salah satu perusahaan rokok di Jawa Timur.
KETUA PBRI PERTAMA
Muhammad Napis. Tokoh ini adalah Ketua PBRI (Persatuan Biro Reklame
Indonesia) sejak 1956 hingga 1972. Dia memegang jabatan tersebut untuk
melanjutkan tugas yang sejak tahun 1949 masih dijabat oleh orang Belanda.
Selain sebagai aktivis asosiasi, dia
juga adalah praktisi sejati. Pada tahun 1952, di usia 27 tahun, dia sudah
mendirikan perusahaan periklanan CV Bhinneka Advertising Services, sekaligus
memegang jabatan Direktur Utama hingga tahun 1972. Situasi makro saat itu
memaksanya untuk menutup “firma” ini. Sebagai gantinya dia mendirikan sebuah
perseroan terbatas yang diberinya nama Advertising Inter Media (AIM), dan tetap
sebagai Direktur Utama hingga tahun 1978.
Seperti juga kebanyakan tokoh
periklanan lama, dia juga tidak mempunyai pendidikan formal di bidang
periklanan. Meskipun demikian dia sempat memperoleh kursus periklanan dari
Stichting voor Reclame (yayasan periklanan) Jakarta tahun 1956 dan mengikuti
program pendidikan tertulis Marketing and Advertising dari Alexander Hamilton
Institue, New York, tahun 1971.
Hingga sekarang, tokoh yang lahir
tanggal 7 Juli 1925 ini masih memegang beberapa jabatan penting di dalam
asosiasi masyarakat periklanan. Antara lain, Direktur Eksekutif PPPI (Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia), tahun 1980-1983; General Manager BPPP (Badan
Penyalur dan Pemerataan Periklanan) Pusat, sejak 1981; Sekretaris Tetap Komisi
Tata-Krama dan Tata-Cara Periklanan Indonesia, sejak 1981; dan Ketua Pelaksana
Harian Badan pengawas Tata-Krama dan Tata-Cara Periklanan PPPI, sejak 1992.
TOKOH PERIKLANAN MODERN
|
Perintis periklanan ini bernama Nuradi.
Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan
modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan.
Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat).
Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun
berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi
orang Indonesia pertama
|
yang diterima di Foreign Service
Institute, US State Department, Washington DC. Selanjutnya belajar penelitian
sosial di New School, New York (1952-1954) dan menyelesaikan studi bidang
administrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Kemudian
selama setahun belajar bahasa di Universitas Sorbone dan Universitas Besancon,
Perancis.Tahun 1945, dia juga dikenal sebagai orang pertama diangkat sebagai
pegawai negeri di Departemen Luar Negeri dan di Departemen Penerangan. Yang
terakhir ini, karena ia juga menjadi penyiar siaran Bahasa Inggris di Radio
Republik Indonesia. Antara tahun 1946-1950, dia menjadi juru bahasa pribadi
untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir. Juanda dan tahun 1949 sempat menjadi
kepala bagian penerjemah pada delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar di
Den Haag, Negeri Belanda. Tahun 1950 dia ditunjuk untuk menjalankan misi khusus
ke Uni Soviet dan menjadi anggota perwakilan tetap Indonesia di markas PBB, New
York. Karier sebagai pegawai negeri telah membawanya terlibat dalam banyak lagi
tugas sebagai anggota delegasi, baik untuk kepentingan nasional, maupun
internasional. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar Negeri pada tahun 1957,
untuk bergabung dengan Perwakilan PRRI Sementara untuk Singapura dan Hongkong.
Perjalanan hidup Nuradi di dunia
periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti Management Training Course
di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di Eropa saat itu.
Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui cabang perusahaan
tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan
periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd..
MERINTIS PERIKLANAN DI TV
Keberadaan TV sebagai media baru di
Indonesia sejak bulan Agustus 1962, telah merangsang Nuradi untuk juga
menjadikannya wahan periklanan. InterVisa tercatat sebagai perintis masuknya
iklan-iklan komersial di TVRI. Tahun 1963, tiga iklan pertama (yang masih
berbentuk telop) di media ini, adalah untuk klien-klien berikut:
- Hotel Tjipajung, yang kebetulan milik ayahnya sendiri.
- PT Masayu, produsen alat-alat berat dan truk.
- PT Arschoob Ramasita, yang dimiliki oleh Judith
Roworuntu, sekaligus menjadi pembuat gambar untuk iklan-iklan InterVista.
Setahun setelah itu, muncul iklan
skuter Lambretta. Tetapi kali ini, sudah digunakan bentuk slide, yang juga
merupakan rintisan saat itu. Iklan Lambretta pun merupakan iklan pertama
yang diproduksi untuk dapat ditampilkan di bioskop-bioskop. Ini merupakan
prestasi tersendiri pula bagi InterVista.
Menurut Nuradi, kekuatan InterVista
terletak justru pada akar budidaya Indonesianya. Pendapat ini mungkin benar,
kalau kita perhatikan beberapa slogan yang diciptakan InterVista, seperti:
- Produk susu kental manis; Indomilk …. sedaaap.
- Produk bir; Bir Anker. Ini Bir Baru, Ini Baru Bir.
- Produk rokok putih; Makin mesra dengan Mascot.
- Produk skuter; Lebih baik naik Vespa.
Periode tahun 1963-1967 InterVista
juga tercatat sebagai perusahaan periklanan pertama yang melakukan adaptasi
terhadap film iklan yang berbahasa Inggris, meskipun proses produksi akhirnya
masih dikerjakan di Singapura. Bahkan pada periode ini, InterVista sudah
memiliki sendiri sutradara untuk membuat film-film iklan para kliennya. Salah
satu film iklan yang sangat sukses saat itu adalah iklan Ardath.
KERJASAMA DENGAN ASING
Meskipun InterVista dianggap sebagai
perusahaan periklanan modern pertama di Indonesia, namun ia ternyata bukanlah
yang pertama melakukan kerjasama dengan perusahaan periklanan asing. Karena
tahun 1960, Franklyn, perusahaan periklanan milik orang Belanda yang kemudian
berganti nama menjadi Bhineka, sudah bekerjasama dengan Young & Rubicam,
salah satu perusahaan periklanan raksasa dari Amerika.
Mengenai kerjasama dengan asing ini
Nuradi merupakan salah satu tokoh yang sangat kuat mempertahankan
ke-Indonesia-annya. “Ini bisa mengantjam pertumbuhan pers nasional”,
katanya, dan “biro-biro iklan internasional yang berkeliaran di Jakarta dalam
waktu dekat bisa memaksa pers di Indonesia mendjadi sematjam djuru-bitjara kaum
industrialis besar”, lanjutnya.*( Majalah Tempo, 25 Maret 1972. )
Pada saat itu, memang terjadi
semacam gelombang “anti biro iklan asing” pada banyak perusahaan periklanan
nasional. Peraturan Pemerintah yang melarang masuknya modal asing dalam
industri periklanan pun sudah ada. Namun penggunaan tenaga asing masih
dimungkinkan, meskipun terbatas pada tiga jabatan saja. Jabatan-jabatan yang dianggap
belum sepenuhnya dapat diisi oleh tenaga-tenaga Indonesia ini adalah
Advertising Consultant (konsultan periklanan di perusahaan periklanan),
Advertising Technical Adviser (penasehat teknis di perusahaan periklanan), dan
Advertising Manager (manajer periklanan di perusahaan pengiklan).
Ironisnya, pada era-globalisasi dan
meredanya “gelombang anti perusahaan periklanan asing” saat ini, justru jabatan
Technical Adviser merupakan satu-satunya jabatan yang masih diijinkan. Mungkin
suatu indikasi terjadinya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam
industri periklanan nasional.
Selain Bhineka, perusahaan
periklanan Fadjar Kamil juga menjalin kerjasama dengan Mc Cann-Erickson,
perusahaan periklanan raksasa lain, yang juga dari Amerika Serikat. Namun
sulitnya memperoleh tenaga terlatih, kemudian telah memaksa pula Nuradi dengan
InterVisa-nya melunakkan sikap untuk bekerjasama dengan perusahaan asing.
Kebetulan, dia memilih Mc Cann-Erickson juga sebagai mitranya. Sukses Nuradi,
membawa InterVisa nyaris ke puncaknya, meskipun bukan dalam hal omset*. Nuradi
patut merasa bangga, bahwa InterVista tercatat sebagai perusahaan periklanan
yang sangat disegani, dan unggul dalam hal mutu karya-karyanya.
Nuradi menduga, hingga awal tahun
1970, urutan peningkat omset perusahaan-perusahaan
periklanan adalah; Lintas, indo-Ad, Matari dan InterVista sendiri.
(Sumber: http://www.pppi.or.id )