TOKOH – TOKOH EPISTIMOGI ISLAM DI
BARAT DAN DI TIMUR.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari
secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan
mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Palto, Thoomas
Aquinas, Rena Descartes, Imanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Scophenhauer, Karl
Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche dan Jean – paul Sartre.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi
yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan
daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat
Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan Agama. Meskipun hal ini kurang
lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih
lebih menonjol daripada agama.
Nama-nama
beberapa filsuf Timur, antara lain Sidharta Budha Gautama/Budha, Bodhidharma,
Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Epistimologi Barat
System
epistimologi saja tk cukup. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang sumber
dan cara mendapatkan pebngetahuan yang dibangun para filosof dan ilmuan Barat
itu betapapun berpengaruh dalam pengembangan peradaban manusia dianggap
mengabaikan nurani dan intutisi manusia.
Dalam
sejaranya, system epistemologi Barat ini bergulir pada acara pasca abad
pengetahuan dan zaman Renaisans, terutama sejak masa Rene Decrates, yang
dipandang sebagai “Bapak Filkirkan safat Barat Moern”. Pradigma epistimologi
barat bercorak rasionalistik – positivistic indrawi menempatkan manusia Cuma
sebagai mahluk fisik – kimia yang tidak peduli nilai – nilai spiritual.
Pandangan ini menyingkirkan Tuhan sebagai pencipta. Suruh proses alam hanya
dipandang sebagai kebetulan, tak ada campur tangan Tuhan dalam bangunan
filsafatnya, decorates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan
menjadikannya sebagai tujuan akhir. Segala hal yang bersifat abstrak dan tajk
dapat dipikirkan secara logika bukanlah ilmu pengetahuan.
Mulyadi
Kartanegara, penulis buku ini tidak sepakat. Doctor filsafat ilmu islam lulusan
Universitas cicago, Maerika serikat itu mencemaskannya, epistimologi barat
menurutnya daapt mengencam kehidupan kemanusiaan. Filosofi muda dari
Universitas Islam negeri Jakarta yang kini menhadi Direktur utama pelaksana
program studi perbandingan agama di Universitas Gajah Mada ini dengan
membongakr kelemahan- kelemahan paradigm epistimoligi barat itu. Penguasaannya
atas kekayaan wrisan pemikiran filsafat islam klasiuk dikadikannya pisau
analisis saat melakukan koreksi atas paradigm mapan itu.
Menurut
Mahyudi, betapapun penting posisi akal sebagai sumber ilmu, dia membutuhkan
alat bantu yang disebut hati atau intisisi yang dalam bentuk tertinggginya
disebut wahyu. Intuisi memilki keunggulan memahami banayak hal yang tak dapat
dilakukan akal. Akal tidak mampu memahami penglaman – pengalaman eksistensial,
akal tidak mengerti mengapa adatemp[at atau waktu tertentu yang dianggap sacral
oleh orang – orang tertentu. Akal juga tidak dapat menangkap sinal dari langit
semua ini hanya dapat dilakukan oleh hati. Otoritas hati sebagai sumber
pengetahuan ini mendapatkan pijakan kukuh dari agama islam. Unutk
membuktikannya, penulis lalu mengambil contoh pengalaman mimpi dan pengalaman
mistik. Tulis Mulyadi, pengalaman mimpi adalah riil dan objektif, meski tidak
bersifat fisik. Ia mencontohkan sipa saja dapat mengalamai mimpi bertemu dengan
orang yang sudah menginggal.
Pengalam
ini amat membantu kita dalam memahami pengalaman mistik yang sering diklaim
para filosof atau sufi. Mereka yang
telah menembus batas – batas dunia fisik bisa mengalami hal yang tak dapat
dipahami oleh akal sebagai mana dalam epistimologi barat. Pengalaman mistik
adalah riil dan bukan ilusi. Pengalam ini amat membantu dalam memahami
pengalaman kenabian.
Akibat
lebih luas dari paradigm epistimologi Barat yang rasinalistik – positivistic
ini, terjadilah skularisme ilmu pengetahuan yang memandang ilmu netral.
Pandangan demikian dan menyatakan ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri
tanpa dipengaruhi nilai – nilai budaya dan agama, bahkan oleh situasi politik
dan ekonomi.
Sedikit
bayak orientasi penekanan, corak, bahkan pengembangan ilmu dipengaruhi
keyakinan pribadi ilmuwan – ilmuwannya. Karena pengembangan ilmu kini
didominasi orang – orang Barat yang memiliki corak sekural, maka
pengembangnnyapun terkait erat dengan latar belakang budaya mereka yang secular tersebut.
Ini
tantangan epistemologi islam. Karena itu perkembangan epistimologo barat
tersebut perlu diarahjan dengan melakukan islamisasi sains. Namun islamisasi
bukan hanya dalam bentuk pelabelan sains dengan ayat – ayat Al – Qur’an atau
Hadist, melainkan adapatasi dan asimilasi kembali masuk ke dalam nilai – nilai
budaya religious islam.
Dibandingkan
dengan buku – buku sejenis, karya Mulyadhi ini punya kekuatan sendiri selain
bahasanya mudah dimengerti, beberapa ilustrasinya bisa memperkuat argumentasi,
karya ini telah membuktikan bahwa masalah yang barat bisa dibahas dan dikupas
dengan cara yang akrab dan renyah.
Epistimologi timur
Ada beberapa
istilah yang agak rancu ketika penyebutannya disandangkan pada hal-hal yang
sebenarnya memiliki kontradiksi makna. Sebagai contoh, di beberapa tulisan,
banyak orang yang mengatasnamakan dari kalangan akademis, mereka mengangkat
tema seputar Islam dan modernisasi, emansipatoris, kebebasan berfikir dan lain
sebagainya. Padahal semua ini bukanlah murni semata dari perkembangan
epistimologi Islam itu sendiri melainkan saduran dan adopsi dari kerangka
epistimologi agama di luar Islam.
Ketika kata
modernisasi disandingkan dengan Islam, tentu kerangka berfikir awalnya adalah
Islam itu kuno, negara Muslim itu terbelakang dan umat Islam itu primitif.
Lebih spesifik lagi akan muncul kesimpulan Islam adalah budaya Arab, dan
beragama Islam identik pada transformasi budaya Arab ke dalam negara-negara non
Arab.
Atau ketika
bicara soal kesetaraan gender, karena melihat proporsi wanita tidak seimbang
dengan pria dalam banyak hal, maka disimpulkan memasung kebebasan yang
merupakan hak asasi manusia. Bahkan, dengan dalih ilmiah segala sesuatu harus
bisa diukur dan dibuktikan secara empirik. Sehingga harus dihapuskan
sekat-sekat yang menghalangi kebebasan berfikir untuk memperoleh
pembuktian tersebut. Dan jadilah, akal seperti Tuhan di atas Tuhan.
Dalam persoalan
hubungan negara dan agama ini juga. Kalau tidak dibilang kerancuan
epistimologi, berarti hanya sekedar membeo. Sebab, jika dianalisa secara
kritis dijumpai perbedaan yang cukup signifikan ketika membahas relasi (‘alaqah)
negara dan agama.
Secara
konseptual bahwa agama di Barat (Kristen) dan di Timur (Islam) yang menjadi dua
agama terbesar di dunia memiliki prinsip berbeda dan pengalaman sejarah
masing-masing. Di mana satu peradaban muncul karena dipicu oleh spirit
kebergamaan, sementara peradaban lain muncul karena dominasi agama berhasil
diruntuhkan. Jadi, kalau sosio-historis masing-masing keduanya merupakan
premis yang dijadikan barometer, maka konklusi yang dihasilkan tidak tepat
alias salah.
Diskursus
tentang hubungan negara-agama bukan hal baru. Di Eropa, sejak abad 18 sudah
dimulai membahas peran agama dalam masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Eropa
yang mayoritas beragama Kristen, mulai tidak percaya otoritas lembaga
keagamaannya. Karena dengan serta merta, setiap kali muncul kekritisan berfikir
terutama dalam hal ilmu pengetahuan, maka dengan segera dihakimi tidak sesuai
dengan ajaran Tuhan.
Dalam sejarah
bisa dilihat bagaimana Copernicus dan Galileo dihakimi terkait pernyataan tentang
pusat tata surya. Disebutkan bahwa matahari adalah rotasi bumi, bukan matahari
yang mengitari bumi akan tetapi sebaliknya. Karena dianggap berseberangan
dengan yang tertulis di kitab suci merekapun dihukum.
Ketika tuntutan
pemisahan antara agama dan urusan dunia (baca : sekularisme) itu semakin keras,
kemudian munculah liberalisasi dalam segala bidang. Dogma agama diragukan, dan
untuk mencapai langkah kemoderenan maka harus meninggalkan nilai-nilai
keagamaan tradisional. Lalu hal ini merambah luas hingga terjadi pemisahan
atara negara dan agama.
Jika yang
dipahami bahwa pola hubungan negara-agama seperti ini, maka hasilnya adalah
sekularisme seperti yang diistilahkan oleh penulis Inggris George Holoyake pada
tahun 1846. Agama dianggap penghambat kemajuan sehingga butuh dibuat rel
tersendiri. Dan jadilah wewenang pemerintah adalah masalah publik, dan wewenang
agama masalah privat.
Hal yang cukup
aneh memang, ketika banyak ilmuwan Muslim dengan seabrek disiplin ilmu agama
yang seharusnya menjaga kemurnian intelektualitas Islam justru malah
mendestruksi ajaran Islam tersebut. Tentu kalau benar pijakan nalar yang
digunakan, pasti akan diperoleh kesimpulan yang objektif.
Inilah yang
diindikasikan meminjam istilah Donald Eugene Smith bahwa selain tipe
intelektual organik; yang berpandangan Islam adalah agama sekaligus politik,
ada juga tipe intelektual sekular; yang berpandangan Islam adalah agama bukan
politik.
Negara harus beragama
Ketika kendali
agama dilepas dari negara apa yang akan terjadi. Mungkin, kalau negara
yang dimaksud corak masyarakatnya sama di Eropa. Namun, apakah sama kalau itu
berlaku pada negara yang mayoritas masyarakatnya Muslim.
Dalam konsepsi
Islam mseperti yang
dikemukakan oleh Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Al Maududi dikenal istilah
Islam huwa ad dinu wa addaulah (Islam adalah penyatuan antara agama dan
negara). Sebagai agama rahamatan lil alamin, Islam sudah dipersiapkan
untuk semua lini kehidupan sampai hal-hal yang terkecil.
Jadi bukan
semata agama yang mengurusi akhirat atau yang sifatnya privat saja. Dan sejak
sistim negara Islam pertama terbentuk di Madinah hingga runtuhnya imperium
Turki usmani, Islam identik dengan negara. Terbukti setelah melalui pasang
surut kejayaan, peradaban Islam terus berkembang dan berlangsung lama. Malah,
justru ketika Turki (1924) yang dipimpin oleh Musthafa Kemal Ataturk merombak
sistim khilafah dan memutus total kendali agama terhadap negara, bukan jadi
moderen tapi jadi hancur.
Jadi
benar seperti yang dikatakan Swidler bahwa pemikiran tentang pemisahan
antara agama dan negara tidak mempunyai preseden sejarah dalam kehidupan Nabi.
Praktek sekularisasi hanya ada dalam pemikiran Kristen pada abad pertengahan,
yang dari situ kemudian menimbulkan revolusi industri dan era pencerahan di
beberapa negara belahan Eropa lainnya.
Oleh karenanya,
agama perlu mengawal negara. Karena negara dijalankan oleh manusia, dan manusia
sering alfa serta cenderung mengikuti hawa nafsu. Di sinilah agama hadir untuk
meluruskan dan menyeimbangkan kehidupan manusia selama di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar