Rabu, 27 Juni 2012

TOKOH – TOKOH EPISTIMOGI ISLAM


TOKOH – TOKOH EPISTIMOGI ISLAM DI BARAT DAN DI TIMUR.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi filsafat orang Yunani kuno.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Palto, Thoomas Aquinas, Rena Descartes, Imanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Scophenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche dan Jean – paul Sartre.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan Agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan,  tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama.
Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Sidharta Budha Gautama/Budha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Epistimologi Barat
System epistimologi saja tk cukup. Teori pengetahuan yang membicarakan tentang sumber dan cara mendapatkan pebngetahuan yang dibangun para filosof dan ilmuan Barat itu betapapun berpengaruh dalam pengembangan peradaban manusia dianggap mengabaikan nurani dan intutisi manusia.
Dalam sejaranya, system epistemologi Barat ini bergulir pada acara pasca abad pengetahuan dan zaman Renaisans, terutama sejak masa Rene Decrates, yang dipandang sebagai “Bapak Filkirkan safat Barat Moern”. Pradigma epistimologi barat bercorak rasionalistik – positivistic indrawi menempatkan manusia Cuma sebagai mahluk fisik – kimia yang tidak peduli nilai – nilai spiritual. Pandangan ini menyingkirkan Tuhan sebagai pencipta. Suruh proses alam hanya dipandang sebagai kebetulan, tak ada campur tangan Tuhan dalam bangunan filsafatnya, decorates menekankan akal itu sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadikannya sebagai tujuan akhir. Segala hal yang bersifat abstrak dan tajk dapat dipikirkan secara logika bukanlah ilmu pengetahuan.
Mulyadi Kartanegara, penulis buku ini tidak sepakat. Doctor filsafat ilmu islam lulusan Universitas cicago, Maerika serikat itu mencemaskannya, epistimologi barat menurutnya daapt mengencam kehidupan kemanusiaan. Filosofi muda dari Universitas Islam negeri Jakarta yang kini menhadi Direktur utama pelaksana program studi perbandingan agama di Universitas Gajah Mada ini dengan membongakr kelemahan- kelemahan paradigm epistimoligi barat itu. Penguasaannya atas kekayaan wrisan pemikiran filsafat islam klasiuk dikadikannya pisau analisis saat melakukan koreksi atas paradigm mapan itu.
Menurut Mahyudi, betapapun penting posisi akal sebagai sumber ilmu, dia membutuhkan alat bantu yang disebut hati atau intisisi yang dalam bentuk tertinggginya disebut wahyu. Intuisi memilki keunggulan memahami banayak hal yang tak dapat dilakukan akal. Akal tidak mampu memahami penglaman – pengalaman eksistensial, akal tidak mengerti mengapa adatemp[at atau waktu tertentu yang dianggap sacral oleh orang – orang tertentu. Akal juga tidak dapat menangkap sinal dari langit semua ini hanya dapat dilakukan oleh hati. Otoritas hati sebagai sumber pengetahuan ini mendapatkan pijakan kukuh dari agama islam. Unutk membuktikannya, penulis lalu mengambil contoh pengalaman mimpi dan pengalaman mistik. Tulis Mulyadi, pengalaman mimpi adalah riil dan objektif, meski tidak bersifat fisik. Ia mencontohkan sipa saja dapat mengalamai mimpi bertemu dengan orang yang sudah menginggal.
Pengalam ini amat membantu kita dalam memahami pengalaman mistik yang sering diklaim para filosof atau  sufi. Mereka yang telah menembus batas – batas dunia fisik bisa mengalami hal yang tak dapat dipahami oleh akal sebagai mana dalam epistimologi barat. Pengalaman mistik adalah riil dan bukan ilusi. Pengalam ini amat membantu dalam memahami pengalaman kenabian.
Akibat lebih luas dari paradigm epistimologi Barat yang rasinalistik – positivistic ini, terjadilah skularisme ilmu pengetahuan yang memandang ilmu netral. Pandangan demikian dan menyatakan ilmu tidak bisa berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi nilai – nilai budaya dan agama, bahkan oleh situasi politik dan ekonomi.
Sedikit bayak orientasi penekanan, corak, bahkan pengembangan ilmu dipengaruhi keyakinan pribadi ilmuwan – ilmuwannya. Karena pengembangan ilmu kini didominasi orang – orang Barat yang memiliki corak sekural, maka pengembangnnyapun terkait erat dengan latar belakang  budaya mereka yang secular tersebut.
Ini tantangan epistemologi islam. Karena itu perkembangan epistimologo barat tersebut perlu diarahjan dengan melakukan islamisasi sains. Namun islamisasi bukan hanya dalam bentuk pelabelan sains dengan ayat – ayat Al – Qur’an atau Hadist, melainkan adapatasi dan asimilasi kembali masuk ke dalam nilai – nilai budaya religious islam.
Dibandingkan dengan buku – buku sejenis, karya Mulyadhi ini punya kekuatan sendiri selain bahasanya mudah dimengerti, beberapa ilustrasinya bisa memperkuat argumentasi, karya ini telah membuktikan bahwa masalah yang barat bisa dibahas dan dikupas dengan cara yang akrab dan renyah.
Epistimologi timur
Ada beberapa istilah yang agak rancu ketika penyebutannya disandangkan pada hal-hal yang sebenarnya memiliki kontradiksi makna. Sebagai contoh, di beberapa tulisan, banyak orang yang mengatasnamakan dari kalangan akademis, mereka mengangkat tema seputar Islam dan modernisasi, emansipatoris, kebebasan berfikir dan lain sebagainya. Padahal semua ini bukanlah murni semata dari perkembangan epistimologi Islam itu sendiri melainkan saduran dan adopsi dari kerangka epistimologi agama di luar Islam.
Ketika kata modernisasi disandingkan dengan Islam, tentu kerangka berfikir awalnya adalah Islam itu kuno, negara Muslim itu terbelakang dan umat Islam itu primitif. Lebih spesifik lagi akan muncul kesimpulan Islam adalah budaya Arab, dan beragama Islam identik pada transformasi budaya Arab ke dalam negara-negara non Arab.
Atau ketika bicara soal kesetaraan gender, karena melihat proporsi wanita tidak seimbang dengan pria dalam banyak hal, maka disimpulkan memasung kebebasan yang merupakan hak asasi manusia. Bahkan, dengan dalih ilmiah segala sesuatu harus bisa diukur dan dibuktikan secara empirik. Sehingga harus dihapuskan sekat-sekat  yang menghalangi kebebasan berfikir untuk memperoleh pembuktian tersebut. Dan jadilah, akal seperti Tuhan di atas Tuhan.
Dalam persoalan hubungan negara dan agama ini juga. Kalau tidak dibilang kerancuan epistimologi, berarti hanya sekedar membeo. Sebab, jika dianalisa secara kritis dijumpai perbedaan yang cukup signifikan ketika membahas relasi (‘alaqah) negara dan agama.
Secara konseptual bahwa agama di Barat (Kristen) dan di Timur (Islam) yang menjadi dua agama terbesar di dunia memiliki prinsip berbeda dan pengalaman sejarah masing-masing. Di mana satu peradaban muncul karena dipicu oleh spirit kebergamaan, sementara peradaban lain muncul karena dominasi agama berhasil diruntuhkan. Jadi, kalau sosio-historis masing-masing keduanya merupakan premis yang dijadikan barometer, maka konklusi yang dihasilkan tidak tepat alias salah.
Diskursus tentang hubungan negara-agama bukan hal baru. Di Eropa, sejak abad 18 sudah dimulai membahas peran agama dalam masyarakat. Pada saat itu, masyarakat Eropa yang mayoritas beragama Kristen, mulai tidak percaya otoritas lembaga keagamaannya. Karena dengan serta merta, setiap kali muncul kekritisan berfikir terutama dalam hal ilmu pengetahuan, maka dengan segera dihakimi tidak sesuai dengan ajaran Tuhan.
Dalam sejarah bisa dilihat bagaimana Copernicus dan Galileo dihakimi terkait pernyataan tentang pusat tata surya. Disebutkan bahwa matahari adalah rotasi bumi, bukan matahari yang mengitari bumi akan tetapi sebaliknya. Karena dianggap berseberangan dengan yang tertulis di kitab suci merekapun dihukum.
Ketika tuntutan pemisahan antara agama dan urusan dunia (baca : sekularisme) itu semakin keras, kemudian munculah liberalisasi dalam segala bidang. Dogma agama diragukan, dan untuk mencapai langkah kemoderenan maka harus meninggalkan nilai-nilai keagamaan tradisional. Lalu hal ini merambah luas hingga terjadi pemisahan atara negara dan agama.
Jika yang dipahami bahwa pola hubungan negara-agama seperti ini, maka hasilnya adalah sekularisme seperti yang diistilahkan oleh penulis Inggris George Holoyake pada tahun 1846. Agama dianggap penghambat kemajuan sehingga butuh dibuat rel tersendiri. Dan jadilah wewenang pemerintah adalah masalah publik, dan wewenang agama masalah privat.
Hal yang cukup aneh memang, ketika banyak ilmuwan Muslim dengan seabrek disiplin ilmu agama yang seharusnya menjaga kemurnian intelektualitas Islam justru malah mendestruksi ajaran Islam tersebut. Tentu kalau benar pijakan nalar yang digunakan, pasti akan diperoleh kesimpulan yang objektif.
Inilah yang diindikasikan meminjam istilah Donald Eugene Smith bahwa selain tipe intelektual organik; yang berpandangan Islam adalah agama sekaligus politik, ada juga tipe intelektual sekular; yang berpandangan Islam adalah agama bukan politik.


Negara harus beragama
Ketika kendali agama dilepas dari negara apa yang akan terjadi. Mungkin, kalau negara yang dimaksud corak masyarakatnya sama di Eropa. Namun, apakah sama kalau itu berlaku pada negara yang mayoritas masyarakatnya Muslim.
Dalam konsepsi Islam mseperti yang dikemukakan oleh Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan Al Maududi dikenal istilah Islam huwa ad dinu wa addaulah (Islam adalah penyatuan antara agama dan negara). Sebagai agama rahamatan lil alamin, Islam sudah dipersiapkan untuk semua lini kehidupan sampai hal-hal yang terkecil.
Jadi bukan semata agama yang mengurusi akhirat atau yang sifatnya privat saja. Dan sejak sistim negara Islam pertama terbentuk di Madinah hingga runtuhnya imperium Turki usmani, Islam identik dengan negara. Terbukti setelah melalui pasang surut kejayaan, peradaban Islam terus berkembang dan berlangsung lama. Malah, justru ketika Turki (1924) yang dipimpin oleh Musthafa Kemal Ataturk merombak sistim khilafah dan memutus total kendali agama terhadap negara, bukan jadi moderen tapi jadi hancur.
Jadi benar seperti yang dikatakan Swidler bahwa pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara tidak mempunyai preseden sejarah dalam kehidupan Nabi. Praktek sekularisasi hanya ada dalam pemikiran Kristen pada abad pertengahan, yang dari situ kemudian menimbulkan revolusi industri dan era pencerahan di beberapa negara belahan Eropa lainnya.
Oleh karenanya, agama perlu mengawal negara. Karena negara dijalankan oleh manusia, dan manusia sering alfa serta cenderung mengikuti hawa nafsu. Di sinilah agama hadir untuk meluruskan dan menyeimbangkan kehidupan manusia selama di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar