BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Agama Primitif
Dilihat dari segi Agama dan Primitif
(keadaan yang sangat
sederhana; belum maju) yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain,
sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum
memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi keadaan yg sangat
sederhana pada suatu kehidupan.
Pada dasarnya agama primitif mempunyai
dua asal-usul yaitu :
Pertama suatu ajaran
yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan
kepada manusia, yeng terbuktu dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi
penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya
monotheisme menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan
menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut.
Kedua agama
bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, histories, dan psikologis,
karena agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk
yang sederhana , biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang
sempurna.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
agama dan kegiatan berifat primitif
Pengertian Agama : Dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal
pula kata “din” dari bahasa Arab dan
kata “religi” dari bahasa Eropa.
Agama berasal dari kata Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa kata itu
tersusun dari dua kata, “a” yang
berarti tidak dan “gama” yang berarti
pergi, maka kata Agama dapat diartikan tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi
turun – temurun.[1][1]
Sedangkan kata “Din” itu sendiri dalam bahasa Semit berarti undang – undang atau
hukum. Dalam bahasa Arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Adapula kata Religi yang berasal dari
bahasa Latin. Menurut satu pendapat asalnya ialah “relegere” yang mengandung
arti mengumpulkan, membaca dan dapat juga kata relegare juga bisa diartikan
mengikat. Oleh karena itu agama adalah suatu ketetapan yang dibuat oleh Tuhan
Yang Maha Esa secara mutlak atau tanpa adanya campur tangan siapa saja.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (
KBBI) kata primitif yaitu keadaan yg sangat sederhana; belum maju (tt
peradaban; terbelakang): kebudayaan.[2][2]
Istilah primitif atau kebudayaan (
keadaan yg sangat sederhana; belum maju ) dicirikan pada manusia atau
sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak
dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja
terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern.
Berdasarkan indikasi tertentu yang
menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari
prilaku, pandangan, ataupun tradisi yang masih primitif sebagai contoh pada
umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih,
sehingga menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. selain itu, orang
desa masih banayk yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari segi
pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat.
Berdasarkan hal tersebut, belum ada
kesepakatan atau kesamaan pandangan berkanaan dengan istilah primitif, namun
apabila pengertian primitif ini dikaitkan dengan agama, seperti yang
dikemukakan oleh guru besar dari Antropologi sosial yang bernama E. Pritchard
beliau menyatakan bahwa agama primitif merupakan bagian dari agama pada
umumnya. Bahkan, semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu
studi tentang pandangan dan praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang
beraneka ragam coraknya.[3][3]
Apabila dilihat dari segi sudut
pandangnya, Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan
sebagai agama primitif, atau berawal dari praktek-praktek agama primiti,
mungkiin agama ini derkembang dari agama yang kecil menjadi besar, yang dalam kurun
waktu yang sangat lama tejadilah perkambanagn agama tersebut.
Banyak kita jumpai sistem ritus,
kepercayaan dan etika-etika manusia primitif misalnya, dinamisme, fetitisme,
dan lain-lain yang dimana kesemuanya itu merupakan nama-nama ilmiah bagi suatu
jenis keagamaan, agama primitif sendiri tidak mengenal adanaya isme-isme,
kecuali orang yang memeluk agama Islam ia akan menyebut dirirnya muslim,
sedangkan orang primitif tigak mengenal apakah dirinya animisme, dinamisme atau
sebagainya.
Dalam hal ini manusia primitif adalah
sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mempunai
isme-isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakininya. Seperti
adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap
arwah-arwah nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda
yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.
Maka dengan adanya hal semacam ini
timbulah adanya upacara bersaji atau sesajen pada masyarakat primitif, seperti
halnya upacara bersaji dimana bersaji ini merupakan suatu keyakinan dan sudah
menjadi doktrin, karena kegiatan ini merupakan perwujudan dari agama. Yang
memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat yang
dijujukan pada Dewa melalui adanay korban binatang misalnya, yang dalam hal ini
darahnya disajikan untuk para Dewa, sedangkan dagingnya untuk kita, seperti
halnya yang terjadi pada kelompok masyarakat Bugis yang berada dikalimantan
barat, yang dimana pada tiap tahunnya kelompok ini mengadakan upacara bersaji
atau dalam kelompok ini disebut dengan “Makan-makan”, upacara makan-makan ini
biasanya dilaksanakan didalam sebuah kelambu yang diadakan di atas tempat tidur
orang yang melaksanakan upacara tersebut, dalamupacara ini disediakan alat-alat
seperti beras kuning, beras putuh, telur ayam kampong yang mentah dan yang
masak masing-masing satu buah.
Dalam pelaksanaan upacara ini setiap
anak diusapkan minyak wangi dari telapak kaki sampai pada ubun-ubun, dan
biasanya dilakukan oleh keluarga yang dianggap paling tua. Bisa kakek, ayah,
atau kakak tertuan dalam keliarga tersebut, sedangkan waktunya biasa
dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Guna menghindarkan diri atau keluarga
dari gangguan setan atau Jin yang ada dalam keluarga tersebut, serta agar semua
keluarga selalu berada dalam keselamatan, serta menjauhkan diri dari gangguan
penunggu laut. Biasanya upacara semacam ini wajib dilakukan pada tiap tahun,
apabila tidak melakukan hal tersebut maka dalam satu keluarga dan salah satu
dari keluarga tersebut ada yang tidak sempurna kehidupannya. Baik dalam hal
jodoh, rizki, ataupun nasibnya dalam menjalani hidup. Namun upacara atau adapt
semacam ini dapat hilang atau tidak wajib lagi dilakukan apabila salah satu
keturunan dari keluarga tersebut yaitu anaknya menikah bukan dengan oaring yang
berketurunan bugis, maka ia keturunan berikutnya boleh melaksanakan boleh juga
tidak. Namun sebelumnnya belau harus berjanji dulu untuk meninggalkan hal
tersebut agar tidak dikucilkan oleh keluarga.[4][4]
Dalam hal ini sangat bertentangan
dengan ajaran islam karena mereka meminta pertolongan kepada selain Allah.
Namun adapt-adat semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat primitif
didaerah tersebut, walaupun mempunyai dampak positif terhadap kehidupan
bermasyarakat. Iani merupakan salah satu contoh dari sebagian masyarakat
primitif yang masih mempertahankan upacara atau adapt tersebut pada zaman
modern saat ini, dan walaupun mereka memeluk agama islam serta rajin beribadah.
Setelah melihat uraian diatas dapat
dikatakan bahwa masyarakat primitif berpadangan bahwa dunia dan alam sekitarnya
bukanlah objek sebagai subjek, lain halnya dengan masyarakat modern memandang
dirinya sebagai subjek sedangkan alam sebagai objeknya. Akibat dari tidak
bisanya membedakan antara subjek dan objek antara manusia dan alam sektarnya,
akhirnya masyarakat primitif memandang sakrala terhadap sesuatu yang dapat
menimbulkan manfaat, kebaikan dan bencana, sebagai contoh apabila ada yang
sakit mereka lebih mempercayai dukun dari pada dokter.
Selain itu keris pohon yang rindang
mereka menganggap semua itu memiliki sesuatu yang sangat sacral sehingga perlu
dipeliharan dan dihormati. Jika kita amati denda-benda tersebut menjadi sacral
dikarenakan sikap manusi itu sendiri yang selalu menganggap benda itu sacral,
dalam hal ini kehidupan manusia primitif dipanihi dengan upacara keagamaan.
Oleh karena itu upacara-upacara keagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka,
seperti pada saat membuka sawah, ladang, perkawinan, serta perbuatan-perbuatan
lainnya. Dalam setiap upacara memiliki mite-nya tersendiri, yang mempunyai
suatu naskah atau scenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan
pada setiap upacara dalam hidupnya.
Agama-agama primitif meskipun disana
sini bersifat sinkretis (antara dua aliran), pada hakekatnya sangat
berbeda-beda karena telah bercampurnya bebagai unsure. Satu contoh adalah
beberapa agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh)
tetapi ada agama yang sama sekali tidak mengandung unsur-unsur demonisme. Demikian
pula ada daerah tertentu yang tak mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada
sisa-sisa toteisme yang tidak jelas dan sukar ditetapkan.
B. Bentuk – bentuk Agama Primitif
Pada dasarnya bentuk Agama ada yang
bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah
meninggalkan fase keprimitifan. Agama – agama yang terdapat dalam masyarakat
primitif ialah Dinamisme, Animisme,
Monoteisme Politeisme dll, adapun pengertiannya adalah sebagai berikut :[5][5]
1)
Agama Dinamisme ialan : Agama
yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini
ada benda – benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada
kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan
ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut
‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.
2)
Agama Animisme ialah : Agama
yang mengajarkan bahwa tiap – tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak
bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari
materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda –
benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan
manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang
gelap dll.
3)
Agama Monoteisme ialah : Adanya
pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta
dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
4)
Agama Politeisme ialah :
mengandung kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa-dewa dalam politeisme talah
mempunyai tugas-tugas tertentu. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya
memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah
dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang
bersangkutan.
Persamaan dari agama-agama primitif
tersebut adalah manusia membujuk kekuatan supernatural dengan penyembahan dan
saji-sajian supaya mengikuti kemauan manusia.
Perbedaan politeisme dan henoteisme
?
Jika pada politeisme, kepercayaan
kepada dewa-dewa dan mengakui dewa terbesar diantara para dewa. Pada henoteisme, mengakui satu tuhan untuk
satu bangsa, dan bangsa-bangsa lainnya mempunyai tuhannya sendiri. Keduanya
masih menyakini dewa-dewa lain atau tuhan-tuhan lain(bukan monoteisme).[6][6]
BAB III
PENUTUP
Dari uraian tentang “Agama primitif”
yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Agama adalah mutlak
ciptaan Allah SWT yang hakiki oleh karena itu agama dijamin akan kefitrahannya,
kemurniannya, kebenarannya, kekekalannya, dan konstanta atau tidak dapat
dirubah oleh manusia sampai kapanpun. Sedangkan primitif (kebudayaan) adalah
hasil cipta, karya, rasa, karsa dan akal buah budi manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidupnya, dimana kebudayaan itu sendiri akan mengalami perubahan
sejalan dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu, penulis menekankan kepada
pembaca bahwa antara agama dan primitif (budaya) meski memiliki hubungan namun
tidak dapat dicampur adukan.
Demikian makalah ini disususun, semoga
dapat menjadi satu dari budaya sarana dalam menerangkan antara agama dan
primitif (kebudayaan).
DAFTAR PUSTAKA
Hasjmy.A.Prof.
; Sejarah Kebudayaan Islam,( Jakarta : PT Karya Uni Press,1995), Cet. Ke – 5
Joko Tri
Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta ; PT Rineka Cip, 1998)
Prasetya Tri
Joko, Drs. ; Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1998)
http://articelmakalah4u.blogspot.com/2009_07_01archive.html
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
[5][5] Hasjmy.A.Prof. ; Sejarah Kebudayaan
Islam, (
Jakarta : PT Karya Uni Press, 1995), Cet. Ke - 5
makalah saudara sudah bagus tapi saran saya tidak usah menggunakan refrensi buku sekolahan (SKI)
BalasHapus