Rabu, 27 Juni 2012

MODEL PEMBANGUNAN KULTURAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Persoalan kebudayaan merupakan bagian penting dalam proses pembangunan. Kebudayaan terkait dengan persoalan karakter dan mental bangsa yang menentukan keberhasilan pembangunan di Indonesia. Apabila mental dan karakter bangsa yang cenderung destruktif dan koruptif tentunya tujuan pembangunan akan sulit terlaksana, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain pembangunan multisektor lainnya juga membutuhkan peranan kebudayaan untuk mendukung suksesnya program-program yang akan dijalankan. Seringkali timbul permasalahan, ketidakberhasilan sasaran program yang dijalankan di daerah disebabkan oleh kurangnya dukungan dari faktor budaya masyarakat tertentu.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 mengamanatkan bahwa arah kebijakan pembangunan kebudayaan antara lain adalah untuk  mewujudkan masyarakat Indonesia yang bermoral, beretika dan berbudaya, ditandai oleh:
a.       terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, dan bermoral tinggi yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, toleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, dan berorientasi iptek; dan
b.      makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa. Di samping itu menurut Prof Soerjanto, pembangunan kebudayaan di Indonesia harus mampu menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan antara lain, Pertumbuhan ekonomi, Pertumbuhan diri, Solidaritas bangsa, Pemerataan, Partisipasi masyarakat, Otonomi, Keadilan sosial,  Keamanan, dan Keseimbangan lingkungan.
Kebudayaan untuk kesejahteraan masyarakat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi saja ternyata keliru. Kejayaan ekonomi Indonesia mengalami kehancuran terkena krisis akibat lemahnya pondasi yang menyangga perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia yang dibangun dengan semangat KKN tidak kuat menerima terpaan krisis yang berawal dari krisis mata uang Thailand. Model pembangunan ala Pemerintah Orde Baru  yang terlihat kuat di luar tetapi rapuh di dalam memberikan pelajaran berharga bagi pengambil kebijakan ke depan agar tidak mengabaikan perhatiannya terhadap pembangunan sektor lainnya, khususnya sektor kebudayaan.
Kebudayaan  Indonesia berkaitan dengan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya masyarakat yang tinggal mendiami wilayah Indonesia. Kebudayaan Indonesia yang terbentuk dari ratusan budaya daerah memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan negara lain. Di sini ditemukan ratusan adat istiadat, kesenian, dan bahasa sukubangsa yang berbeda-beda, yang merupakan  potensi untuk dikembangkan dalam proses pembangunan ke depan terutama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Terkait dengan aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat, ada dua model pendekatan. Pertama dilihat dari sisi peningkatan kesejahteraan lahir, kebudayaan bisa dikembangkan dalam rangka mendukung timbulnya pariwisata yang ujung-ujungnya masyarakat akan memperoleh dampak ekonomi secara langsung. Selain itu pula dengan munculnya industri kreatif yang berbasis budaya lokal juga mendorong Usaha Kecil Masyarakat untuk tumbuh dan berkembang di wilayah pedesaan. Kedua dilihat dari segi peningkatan kesejahteraan batin,  pembangunan kebudayaan mampu menumbuhkan nilai-nilai kesetiakawan sosial, nasionalisme, cinta terhadap budaya sendiri,  toleransi, ramah, sopan santun, dan toleransi tinggi. Dalam hal ini pembangunan kebudayaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan pendidikan. Gambaran untuk membentuk manusia Indonesia yang kreatif, berkarakter, dan produktif merupakan keterpaduan antara pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pembangunan kebudayaan salah satu sektor penting yang musti dilaksanakan untuk kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu ke depannya seluruh stakeholder kebijakan (Pemerintah Pusat dan Daerah) perlu memperhatikan aspek kebudayaan untuk dijadikan landasan kebijakan dalam melaksanakan programnya masing-masing. Di samping itu pula peranan masyarakat dituntut aktif dalam pembangunan kebudayaan karena tanpa partisipasi masyarakat pelaksanaan pembangunan kebudayaan tidak dapat berhasil dengan sukses.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    MODEL PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN YANG IDEAL
KEBUDAYAAN merupakan identitas suatu bangsa yang dapat membedakan dengan bangsa lain. Dalam perkembangan era globalisasi saat ini, sudah banyak pihak yang mulai melunturkan identitas negaranya sendiri. Tidak hanya secara nilai-nilai budaya yang tidak dapat di pandang kasat mata, akan tetapi secara fisik, aspek kebudayaan tidak pula menjadi salah satu aspek yang diprioritaskan pembangunannya bahkan kerap kali tidak dipentingkan. Opini ini semakin terurai jelas dengan ditemuinya fakta terkait kondisi aset budaya di daerah yang semakin memperihatinkan. Yang termasuk dalam aset budaya yakni museum, perpustakaan daerah, taman budaya dan aset budaya lainnya yang dimiliki oleh suatu daerah.
Degradasi kondisi aset budaya di daerah terkait dengan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah.Satu temuan yang cukup memprihatinkan dari hasil penelitian Bappenas (2007) adalah banyaknya aset-aset kebudayaan yang sudah didesentralisasikan menjadi tidak terpelihara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari tahun 2006/2007 ke 2007/2008 pada umumnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di seluruh Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 20% . Namun kenaikan APBD tersebut berbanding terbalik dengan alokasi anggaran untuk bidang kebudayaan yang semakin menurun. Hal ini terlihat dari anggaran yang diterima museum dan taman budaya yang sebagian besar mengalami kekurangan atau bahkan ada yang tidak mendapat anggaran.
Untuk mengatasi masalah pembiayaan ini, sebenarnya pemerintah daerah bisa memanfaatkan potensi sumber-sumber pembiayaan yang ada di daerah, seperti dunia usaha dan masyarakat melalui kerjasama atau kemitraan (partnership). Program kemitraan (partnership) ini bisa menjadi alternatif terbaik bukan hanya untuk mengatasi masalah pembiayaan (dalam arti untuk menutupi kekurangan), tetapi juga untuk mendukung terwujudnya kemandirian pembiayaan pembangunan kebudayaan daerah, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan. Potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha cukup tinggi, namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal.
Berkaca pada kondisi di luar negeri, ditemui bahwa di Kanada terdapat upaya menjalin kerjasama antara pihak museum dengan berbagai pihak, baik dunia usaha, lembaga profesi, maupun masyarakat serta pemerintah secara berkesinambungan. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan potensi yang ada di Indonesia, dikembangkan model pembiayaan pembangunan kebudayaan yang bertumpu pada prinsip kemitraan (partnership principle). Model ini melibatkan empat sumber pembiayaan, yaitu: (1) Pemerintah Pusat; (2) Pemerintah Daerah; (3) dunia usaha, dan; (4) masyarakat. Secara skematis sinergi berbagai komponen dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan di daerah dapat digambarkan seperti di bawah ini.
13260499071348394276
Melalui kerjasama dengan berbagai institusi itu, akan dapat digali berbagai sumber pembiayaan dan akhirnya akan terwujud kemandirian pembiayaan dalam pengembangan aset-aset kebudayaan. Pola pembiayaan demikian disebut pola pembiayaan dalam jangka panjang atau budget sustainability (Iskandar, 2003).

B.     MODEL IDEAL PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN.
Model ideal adalah pembiayaan yang didasarkan pada pola “pembiayaan berkelanjutan” (budget sustainabilty). Dalam model ini institusi atau aset kebudayaan dapat membiayai sendiri berbagai program dan kegiatannya, baik yang bersifat operasional maupun pengembangan. Sumber-sumber biaya itu diperoleh dari jasa layanan aset kebudayaan dan hasil kemitraan, apakah kemitraan dengan dunia usaha maupun masyarakat. Dengan demikian institusi tidak bergantung pada anggaran pemerintah. Model pembiayaan ideal mengedepankan kemandirian finansial dalam pembiayaan pengembangan kebudayaan, khususnya dalam pengelolaan dan pengembangan aset-aset kebudayaan. Model ini ditemukan pada pembiayaan yang dilakukan TMII.
Semakin banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan ini, semakin menuntut pula komunikasi dialogis yang sehat. Kesadaran akan pentingnya pemeliharaan berbagai aset budaya akan lebih efektif jika dilakukan berdasarkan kesepahaman (mutual understanding) di antara para pemangku peran, sehingga dapat disepakati peran-peran yang dapat dilakukan para stakeholders tersebut. Peningkatan dialog pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat di sekitar asset budaya berada sudah harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan kesepakatan dan aksi kongkret. Keberhasilan dialog dan pembagian peran dan tanggung jawab akan meningkatkan kesepahan tentang urgensi pembangunan kebudayaan, sehingga tidak semata-mata dipandang dalam perspektif jangka pendek sebagai cost centre.
Untuk meningkatkan efektifitas kerja sama dan kemitraan antarstakeholders dalam mengelola dan melestarikan aset budaya, dibutuhkan model yang merepresentasikan realitas obyektif pengelolaan aset budaya saat ini. Model ini disandingkan dengan pengembangan pengelolaan aset budaya di masa depan secara kongkret, realistis dan dapat diimplementasikan dengan mudah. Idealnya model pembiayaan yang dikembangkan adalah model budget suatainability. Karena itu kerjasama dan kemitraan harus banyak dilakukan oleh pengelola aset budaya.


BAB III
PENUTUP

pembangunan kebudayaan mampu menumbuhkan nilai-nilai kesetiakawan sosial, nasionalisme, cinta terhadap budaya sendiri,  toleransi, ramah, sopan santun, dan toleransi tinggi. Dalam hal ini pembangunan kebudayaan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pembangunan pendidikan. Gambaran untuk membentuk manusia Indonesia yang kreatif, berkarakter, dan produktif merupakan keterpaduan antara pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan.










DAFTAR PUSTAKA
Nina Sardjunani. 2008. Kebijakan Pembangunan Kebudayaan di Indonesia. Dalam Kumpulan Makalah Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia 2008 dan Pertemuan Ikatan Arkeologi XI. Solo.
Darwis A. Soelaiman. 1994. Strategi Kebudayaan dan Strategi Pendidikan. Dalam Kumpulan Makalah Penunjang Simposium Nasional Cendekiawan Muslim. Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia. Jakarta.
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/01/09/model-pembiayaan-pembangunan-kebudayaan-yang-ideal/
http://rivaldiligia.wordpress.com/2011/07/07/pembangunan-kebudayaan-untuk-peningkatan-kesejahteraan-masyarakat/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar