BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Persoalan
kebudayaan merupakan bagian penting dalam proses pembangunan. Kebudayaan
terkait dengan persoalan karakter dan mental bangsa yang menentukan
keberhasilan pembangunan di Indonesia. Apabila mental dan karakter bangsa yang
cenderung destruktif dan koruptif tentunya tujuan pembangunan akan sulit
terlaksana, begitu pula sebaliknya. Di sisi lain pembangunan multisektor
lainnya juga membutuhkan peranan kebudayaan untuk mendukung suksesnya
program-program yang akan dijalankan. Seringkali timbul permasalahan,
ketidakberhasilan sasaran program yang dijalankan di daerah disebabkan oleh
kurangnya dukungan dari faktor budaya masyarakat tertentu.
Dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 mengamanatkan bahwa arah
kebijakan pembangunan kebudayaan antara lain adalah untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang bermoral, beretika dan berbudaya, ditandai oleh:
a. terwujudnya
karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, dan bermoral tinggi yang dicirikan
dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, toleran, bergotong royong,
patriotik, dinamis, dan berorientasi iptek; dan
b. makin
mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan
martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa. Di
samping itu menurut Prof Soerjanto, pembangunan kebudayaan di Indonesia harus
mampu menumbuhkan nilai-nilai kebudayaan antara lain, Pertumbuhan ekonomi, Pertumbuhan
diri, Solidaritas bangsa, Pemerataan, Partisipasi masyarakat, Otonomi, Keadilan
sosial, Keamanan, dan Keseimbangan
lingkungan.
Kebudayaan untuk
kesejahteraan masyarakat
terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 mengajarkan kepada kita bahwa pembangunan
Indonesia yang bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi saja ternyata keliru.
Kejayaan ekonomi Indonesia mengalami kehancuran terkena krisis akibat lemahnya
pondasi yang menyangga perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia yang dibangun
dengan semangat KKN tidak kuat menerima terpaan krisis yang berawal dari krisis
mata uang Thailand. Model pembangunan ala Pemerintah Orde Baru yang
terlihat kuat di luar tetapi rapuh di dalam memberikan pelajaran berharga bagi
pengambil kebijakan ke depan agar tidak mengabaikan perhatiannya terhadap
pembangunan sektor lainnya, khususnya sektor kebudayaan.
Kebudayaan
Indonesia berkaitan dengan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya masyarakat yang tinggal mendiami wilayah Indonesia. Kebudayaan
Indonesia yang terbentuk dari ratusan budaya daerah memiliki karakteristik
tersendiri dibandingkan dengan negara lain. Di sini ditemukan ratusan adat
istiadat, kesenian, dan bahasa sukubangsa yang berbeda-beda, yang
merupakan potensi untuk dikembangkan dalam proses pembangunan ke depan
terutama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Terkait dengan
aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat, ada dua model pendekatan. Pertama
dilihat dari sisi peningkatan kesejahteraan lahir, kebudayaan bisa dikembangkan
dalam rangka mendukung timbulnya pariwisata yang ujung-ujungnya masyarakat akan
memperoleh dampak ekonomi secara langsung. Selain itu pula dengan munculnya
industri kreatif yang berbasis budaya lokal juga mendorong Usaha Kecil
Masyarakat untuk tumbuh dan berkembang di wilayah pedesaan. Kedua dilihat dari
segi peningkatan kesejahteraan batin, pembangunan kebudayaan mampu
menumbuhkan nilai-nilai kesetiakawan sosial, nasionalisme, cinta terhadap
budaya sendiri, toleransi, ramah, sopan santun, dan toleransi tinggi.
Dalam hal ini pembangunan kebudayaan merupakan bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari pembangunan pendidikan. Gambaran untuk membentuk manusia
Indonesia yang kreatif, berkarakter, dan produktif merupakan keterpaduan antara
pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Pembangunan
kebudayaan salah satu sektor penting yang musti dilaksanakan untuk kelangsungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu ke depannya seluruh stakeholder
kebijakan (Pemerintah Pusat dan Daerah) perlu memperhatikan aspek kebudayaan
untuk dijadikan landasan kebijakan dalam melaksanakan programnya masing-masing.
Di samping itu pula peranan masyarakat dituntut aktif dalam pembangunan
kebudayaan karena tanpa partisipasi masyarakat pelaksanaan pembangunan
kebudayaan tidak dapat berhasil dengan sukses.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MODEL PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN YANG
IDEAL
KEBUDAYAAN merupakan identitas suatu bangsa yang dapat
membedakan dengan bangsa lain. Dalam perkembangan era globalisasi saat ini,
sudah banyak pihak yang mulai melunturkan identitas negaranya sendiri. Tidak
hanya secara nilai-nilai budaya yang tidak dapat di pandang kasat mata, akan
tetapi secara fisik, aspek kebudayaan tidak pula menjadi salah satu aspek yang
diprioritaskan pembangunannya bahkan kerap kali tidak dipentingkan. Opini ini
semakin terurai jelas dengan ditemuinya fakta terkait kondisi aset budaya di
daerah yang semakin memperihatinkan. Yang termasuk dalam aset budaya yakni
museum, perpustakaan daerah, taman budaya dan aset budaya lainnya yang dimiliki
oleh suatu daerah.
Degradasi kondisi aset budaya di daerah terkait dengan
kebijakan pelaksanaan otonomi daerah.Satu temuan yang cukup memprihatinkan dari
hasil penelitian Bappenas (2007) adalah banyaknya aset-aset kebudayaan yang
sudah didesentralisasikan menjadi tidak terpelihara. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dari tahun 2006/2007 ke 2007/2008 pada umumnya Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di seluruh Indonesia mengalami kenaikan
rata-rata 20% . Namun kenaikan APBD tersebut berbanding terbalik dengan alokasi
anggaran untuk bidang kebudayaan yang semakin menurun. Hal ini terlihat dari
anggaran yang diterima museum dan taman budaya yang sebagian besar mengalami
kekurangan atau bahkan ada yang tidak mendapat anggaran.
Untuk mengatasi masalah pembiayaan ini, sebenarnya
pemerintah daerah bisa memanfaatkan potensi sumber-sumber pembiayaan yang ada
di daerah, seperti dunia usaha dan masyarakat melalui kerjasama atau kemitraan (partnership).
Program kemitraan (partnership) ini bisa menjadi alternatif terbaik
bukan hanya untuk mengatasi masalah pembiayaan (dalam arti untuk menutupi
kekurangan), tetapi juga untuk mendukung terwujudnya kemandirian pembiayaan
pembangunan kebudayaan daerah, khususnya dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan.
Potensi partisipasi masyarakat dan dunia usaha cukup tinggi, namun belum dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Berkaca pada kondisi di luar negeri, ditemui bahwa di Kanada
terdapat upaya menjalin kerjasama antara pihak museum dengan berbagai pihak,
baik dunia usaha, lembaga profesi, maupun masyarakat serta pemerintah secara
berkesinambungan. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan potensi yang
ada di Indonesia, dikembangkan model pembiayaan pembangunan kebudayaan yang
bertumpu pada prinsip kemitraan (partnership principle).
Model ini melibatkan empat sumber pembiayaan, yaitu: (1) Pemerintah Pusat; (2)
Pemerintah Daerah; (3) dunia usaha, dan; (4) masyarakat. Secara skematis
sinergi berbagai komponen dalam pembiayaan pembangunan kebudayaan, khususnya
dalam pembiayaan aset-aset kebudayaan di daerah dapat digambarkan seperti di
bawah ini.
Melalui kerjasama dengan berbagai institusi itu, akan dapat
digali berbagai sumber pembiayaan dan akhirnya akan terwujud kemandirian
pembiayaan dalam pengembangan aset-aset kebudayaan. Pola pembiayaan demikian
disebut pola pembiayaan dalam jangka panjang atau budget sustainability (Iskandar,
2003).
B.
MODEL IDEAL PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
KEBUDAYAAN.
Model ideal adalah pembiayaan yang didasarkan pada pola
“pembiayaan berkelanjutan” (budget sustainabilty). Dalam model ini
institusi atau aset kebudayaan dapat membiayai sendiri berbagai program dan
kegiatannya, baik yang bersifat operasional maupun pengembangan. Sumber-sumber
biaya itu diperoleh dari jasa layanan aset kebudayaan dan hasil kemitraan,
apakah kemitraan dengan dunia usaha maupun masyarakat. Dengan demikian
institusi tidak bergantung pada anggaran pemerintah. Model pembiayaan ideal
mengedepankan kemandirian finansial dalam pembiayaan pengembangan kebudayaan,
khususnya dalam pengelolaan dan pengembangan aset-aset kebudayaan. Model ini
ditemukan pada pembiayaan yang dilakukan TMII.
Semakin banyaknya stakeholder yang terlibat dalam pembiayaan
pembangunan kebudayaan ini, semakin menuntut pula komunikasi dialogis yang
sehat. Kesadaran akan pentingnya pemeliharaan berbagai aset budaya akan lebih
efektif jika dilakukan berdasarkan kesepahaman (mutual understanding) di
antara para pemangku peran, sehingga dapat disepakati peran-peran yang dapat
dilakukan para stakeholders tersebut. Peningkatan dialog pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat di sekitar
asset budaya berada sudah harus segera dilakukan dan ditindaklanjuti dengan
kesepakatan dan aksi kongkret. Keberhasilan dialog dan pembagian peran dan tanggung
jawab akan meningkatkan kesepahan tentang urgensi pembangunan kebudayaan,
sehingga tidak semata-mata dipandang dalam perspektif jangka pendek sebagai cost
centre.
Untuk meningkatkan efektifitas kerja sama dan kemitraan
antarstakeholders dalam mengelola dan melestarikan aset budaya,
dibutuhkan model yang merepresentasikan realitas obyektif pengelolaan aset
budaya saat ini. Model ini disandingkan dengan pengembangan pengelolaan aset
budaya di masa depan secara kongkret, realistis dan dapat diimplementasikan
dengan mudah. Idealnya model pembiayaan yang dikembangkan adalah model budget
suatainability. Karena itu kerjasama dan kemitraan harus banyak dilakukan
oleh pengelola aset budaya.
BAB III
PENUTUP
pembangunan
kebudayaan mampu menumbuhkan nilai-nilai kesetiakawan sosial, nasionalisme,
cinta terhadap budaya sendiri, toleransi, ramah, sopan santun, dan
toleransi tinggi. Dalam hal ini pembangunan kebudayaan merupakan bagian yang
tidak bisa dipisahkan dari pembangunan pendidikan. Gambaran untuk membentuk
manusia Indonesia yang kreatif, berkarakter, dan produktif merupakan
keterpaduan antara pembangunan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nina Sardjunani.
2008. Kebijakan Pembangunan Kebudayaan di Indonesia. Dalam Kumpulan Makalah
Kongres Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia 2008 dan Pertemuan Ikatan Arkeologi XI.
Solo.
Darwis A.
Soelaiman. 1994. Strategi Kebudayaan dan Strategi Pendidikan. Dalam Kumpulan
Makalah Penunjang Simposium Nasional Cendekiawan Muslim. Ikatan Cendekiawan
Muslim Se-Indonesia. Jakarta.
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/01/09/model-pembiayaan-pembangunan-kebudayaan-yang-ideal/
http://rivaldiligia.wordpress.com/2011/07/07/pembangunan-kebudayaan-untuk-peningkatan-kesejahteraan-masyarakat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar